Harga Pakan Ternak Berontak, Intervensi Pemerintah Mendesak

Dalam waktu dekat, pemerintah akan mengeluarkan regulasi baru terkait dengan stabilisasi stok dan harga pakan ternak.

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi & Iim Fathimah Timorria

16 Sep 2021 - 15.52
A-
A+
Harga Pakan Ternak Berontak, Intervensi Pemerintah Mendesak

Pekerja mengemas jagung impor yang akan didistribusikan ke peternak di Gudang Bulog, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (24/1/2019)./ANTARA-Zabur Karuru

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah tengah putar otak untuk mengurai problem stok dan harga pakan ternak yang dialami secara berkepanjangan oleh peternak mandiri. Salah satu solusi yang akan dijajal adalah dengan mengikat rantai distribusi jagung antarsentra produksi.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan strategi tersebut akan mulai dieksekusi pekan ini agar kebutuhan jagung pakan—khususnya di Klaten, Blitar, dan Lampung—bisa terpenuhi dengan harga yang relatif stabil.

“Kalau perlu, [kami akan] menggunakan subsidi-subsidi tertentu,” ujarnya, Kamis (16/9/2021).

Selain itu, Syahrul berjanji akan menambah lebih banyak sentra pakan khusus jagung di daerah yang memiliki basis peternakan.

Selanjutnya, pemerintah akan melakukan penjagaan dan stabilitas harga agar tetap terkendali serta memperbaiki regulasi dan aturan yang bisa melindungi peternak.

"Saya dan Menteri Perdagangan [Muhammad Lutfi] diperintahkan [Presiden Joko Widodo] untuk membangun regulasi bersama sehingga nantinya ada kepastian ketika terjadi apa-apa. Kemudian, perintah Presiden juga adalah membuat industri yang terkait dengan tepung dan telur,” tuturnya. 

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo./ANTARA

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo menerima perwakilan Perhimpunan Insan Perunggasan dan Peternak Ayam Petelur, pada Rabu (15/9/2021) di Istana Negara, Jakarta. Dalam pertemuan ini, Presiden didampingi oleh Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan.

Syahrul menjabarkan pembicaraan antara Presiden dan peternak mencakup tiga isu. Di antaranya terkait dengan budi daya dan bibit, kemudian pakan dan jagung, serta harga yang dinilai cukup rendah.

"Kira-kira tiga hal itu yang dibicarakan dan menjadi keluh kesah mereka [peternak]," katanya.

Di sisi lain, Lutfi mengatakan saat ini terjadi ketidakseimbangan dalam industri perunggasan. Salah satunya adalah akibat kenaikan harga jagung dan gandum sebagai pakan ternak utama.

"Ini menyebabkan ongkos produksi peternak layer dan broiler menjadi sangat tinggi,” tutur Lutfi.

Dengan demikian, pemerintah bakal memastikan keterjangkauan harga serta memastikan fungsi daging dan telur dalam keadaan baik, sehingga mampu memperbaiki gizi masyarakat.

"Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini Kemendag dan Kementan segera membuat terobosan yang bisa menyeimbangkan sektor perunggasan," katanya.

Salah satu perwakilan peternak, Suroto, mengaku bersyukur karena pemerintah merespons dan mendengarkan keluh kesah para peternak. Dia berharap Presiden mampu memecahkan persoalan yang ada dan memberikan solusi yang terbaik.

"Kemarin pagi-pagi [pertemuan antara peternak mandiri dengan Presiden] pukul 8:00 [WIB]. Jadi, mendadak. Kami enggak tahu, kaget. Ini pasti bohong, ini pasti bohong. Lah iya [ternyata] betul [diundang Presiden]," ujarnya.

KRISIS JAGUNG

Sebelumnya, berbagai kalangan memprediksi krisis harga jagung pakan yang sempat terjadi pada 2019 siap terulang pada tahun ini.

Problem lingkaran setan yang menjerat industri peternakan nasional itu pun rawan kembali mengulang tragedi karut marut harga daging ayam yang sempat terjadi dua tahun silam.

Harga jagung pipil kering terpantau terus bergerak naik di atas harga acuan dalam beberapa bulan terakhir, kendati komoditas tersebut telah melalui masa panen. Pelaku usaha perunggasan pun mengamini kondisi tersebut berdampak langsung terhadap biaya produksi mereka.

Ketua Umum Asosiasi Peternak Layer Nasional Musbar Mesdi menyebutkan harga jagung pipil kering telah menembus Rp5.000 per kilogram (kg).

Dengan harga bibit ayam usia sehari atau day old chick (DOC) yang bergerak naik ke Rp13.000 per ekor, dia mengatakan biaya produksi di tingkat peternak saat ini menembus Rp19.800 per kg.

Harga jagung dan DOC saat ini jauh berada di atas harga acuan yang tertuang dalam Permendang No. 7/2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.

Merujuk pada beleid ini, harga acuan penjualan jagung dengan kadar air 15% di tingkat konsumen ditetapkan senilai Rp4.500 per kg. Sementara itu, harga DOC dibanderol di kisaran Rp8.000 sampai Rp10.000 per ekor.

Musbar menjelaskan sejumlah faktor memengaruhi anomali harga jagung pakan. Salah satunya adalah akibat kondisi penanaman dan panen yang bertepatan dengan curah hujan tinggi sehingga produksi menjadi tidak optimal.

“Awal tanam itu, Desember saat curah hujan tinggi, akibatnya putik bunga jagung banyak yang rontok. Alokasi pupuk juga terhambat sehingga penanaman jagung saat awal itu produktivitasnya turun,” kata Musbar.

Pekerja mengeringkan jagung yang baru dipipil di Desa Balongga, Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (6/9/2021)./ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Technical Consultant US Grains Council Budi Tangendjaja berpendapat kenaikan harga jagung bisa menjadi indikator terjadinya perubahan pada pola pasokan di pasaran.

Jika merujuk pada riset yang dia lakukan, harga jagung biasanya turun dalam tiga bulan pertama tahun berjalan karena adanya panen. Anomalinya, harga jagung pada kuartal pertama tahun inijustru bergerak naik dan menyentuh Rp5.500 per kg.

Budi bahkan mendapat laporan sejumlah pabrik pakan harus membeli jagung seharga Rp6.000 per kg karena ketersediaan yang terbatas.

“Kita memiliki harga yang mengacu pada supply-demand yang berbeda kalau dibandingkan dengan harga dunia karena kita melakukan proteksi dan tidak mengimpor jagung untuk pakan,” ujarnya.

Budi juga mengkhawatirkan keberlanjutan pasokan jagung di Tanah Air untuk kebutuhan industri pakan maupun perunggasan.

Berdasarkan analisisnya, dalam 20 tahun ke depan kebutuhan jagung setidaknya bertambah 12 juta ton, seiring dengan bertambahnya produksi pakan menjadi 44 juta ton.  

Dengan produktivitas di angka 3,2 ton per hektare, Indonesia seharusnya memerlukan tambahan luas area tanam seluas 3,8 juta hektare.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.