Indonesia di Pusaran Rekor Keganasan Harga Pangan Dunia

Guna meminimalisir dampak anomali harga pangan dunia, pemerintah harus menyiapkan rencana pengadaan sedini mungkin. Hal ini utamanya dibutuhkan untuk mengamankan pasokan komoditas pangan yang memiliki dependensi tinggi terhadap impor.

10 Mei 2021 - 13.34
A-
A+
Indonesia di Pusaran Rekor Keganasan Harga Pangan Dunia

Karyawan menata sayuran yang di pajang di salah satu super market di Jakarta./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis, JAKARTA — Persoalan lonjakan harga pangan di hampir seluruh dunia akibat pandemi Covid-19 tak kunjung menunjukkan gejala perbaikan. Justru, problem yang bersinggungan langsung dengan kebutuhan pokok manusia ini kian memburuk memasuki kuartal II/2021.

Data terbaru Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan indeks harga pangan pada April 2021 menembus 120,9 poin, merangsek naik 1,7% dari bulan sebelumnya. Indeks ini juga 30,8% lebih tinggi dibandingkan dengan April 2020.

Data tersebut sekaligus merefleksikan pemburukan tren kenaikan harga pangan dunia dalam 11 bulan terakhir lantaran memecahkan rekor tertinggi sejak Mei 2014.

Menghadapi situasi tersebut, Indonesia justru dihadapkan pada solusi yang terbatas. Di tengah masih banyaknya bahan pokok yang menggantungkan suplainya dari impor, kondisi harga pangan di Tanah Air pun terdampak langsung oleh fenomena dunia tersebut.

Dalam laporannya, FAO mendata kenaikan harga pangan pada bulan keempat tahun berjalan dipicu oleh komoditas gula, minyak nabati, daging, produk susu, serta serealia.

Ironisnya, kelompok barang tersebut merupakan jenis-jenis yang paling banyak diimpor oleh Indonesia untuk memenuhi kebutuhan domestik.  

Sebagai contoh, Indonesia telah mengimpor 1,19 juta ton gula mentah selama Januari sampai Februari 2021 dengan nilai US$471,35 juta untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumsi.

Jika dirata-rata, maka harga gula mentah impor berada di kisaran US$0,39 per kilogram (kg). Adapun, pada periode yang sama tahun lalu, impor gula mentah mencapai US$239,68 juta dengan volume 699.878 ton dengan harga rata-rata saat itu US$0,34 per kg.

Kenaikan harga juga tecermin dari importasi biji kedelai yang secara volume naik 10,04% dari 403.875 ton pada Januari—Februari 2020 menjadi 444.434 ton pada 2021.

Namun, dari sisi nilai impor, kenaikan mencapai 36,47% dari US$164,53 juta menjadi US$224,54 juta pada periode tersebut.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan membenarkan pergerakan harga global untuk komoditas-komoditas tersebut tidak bisa dihindari karena pasokan domestik belum bisa memenuhi kebutuhan.

“Harga tidak bisa dihindari karena dipengaruhi situasi internasional. [Hal] yang bisa dipastikan adalah bagaimana pasokan tetap terpenuhi dan kenaikan harganya terkendali,” kata Oke, Minggu (9/5/2021).

Oke menjelaskan pergerakan harga dunia telah mulai dirasakan dampaknya pada sejumlah komoditas seperti kedelai yang memaksa perajin di dalam negeri melakukan penyesuaian harga sejak awal tahun. Untuk gula, Oke mengatakan tidak ada masalah dari segi harga impor.

“Untuk kedelai  sudah terpengaruh. Namun, kami sudah berbicara dengan para importir untuk menahan diri dalam menaikkan harga, setidaknya sampai Lebaran. Sejauh ini semua sepakat dan pemerintah mengapresiasi hal tersebut,” lanjutnya.

Mengutip Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP), sejumlah komoditas yang turut dipenuhi lewat impor memang mengalami kenaikan dalam setahun terakhir.

Selain kedelai yang bergerak dari Rp11.100 pada Mei 2020 menjadi Rp12.100 pada Mei 2021, kenaikan juga terjadi pada daging sapi paha belakang dari rata-rata Rp120.300 per kg menjadi Rp126.300 per kg.

Untuk gula, harga mengalami penurunan 23,84% dari Rp17.200 per kg pada Mei 2020 menjadi Rp13.100 per kg. Harga bawang putih yang tahun lalu juga terganggu importasinya turun 18,99% dari Rp35.800 menjadi Rp29.000 per kg.

Pekerja menyortir kedelai yang baru tiba di gudang penyimpanan di Kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (15/2/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

PERENCANAAN IMPOR

Guna meminimalisir dampak anomali harga pangan dunia, pemerintah pun disarankan untuk menyiapkan rencana pengadaan sedini mungkin. Hal ini utamanya dibutuhkan untuk mengamankan pasokan komoditas pangan yang dipenuhi lewat impor.

Wakil Menteri Perdagangan periode 2011—2014 sekaligus ekonom pertanian dari IPB University Bayu Krisnamurthi mengatakan kenaikan harga komoditas pangan tak lepas dari belum berakhirnya fenomena Commodity Super Cycle.

Dia menggarisbawahi harga kedelai Brasil telah naik 62% jika dibandingkan dengan harga April 2020. Harga minyak sawit Indonesia pun juga terpantau melambung 94% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

“Kondisi ini diperkirakan masih akan berlangsung satu sampai satu setengah tahun lagi,” kata Bayu.

Dia mencermati terdapat dua hal yang memengaruhi harga komoditas secara global. Pertama, meroketnya permintaan untuk sejumlah komoditas pangan dari negara-negara ekonomi besar di Asia.

Contohnya terlihat pada impor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) India yang naik 90% antara April 2020 sampai 2021 dan juga naiknya impor kedelai China untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak.

Kedua, berkurangnya pasokan akibat gangguan produksi. Contohnya adalah panen kedelai di Brasil dan Amerika Serikat yang kurang baik dan berkurangnya stok sapi di Australia dan Brasil.

Dalam kaitan itu, Bayu mengatakan Indonesia perlu merencanakan impor seawal mungkin karena terdapat risiko perebutan komoditas di pasar global dan juga alat pengangkut.

Terlebih komoditas pangan yang masih ditopang lewat impor mencakup pangan pokok seperti gula, kedelai, gandum, dan daging sapi.

“Perencanaan impor harus dilakukan seawal mungkin karena akan terjadi ‘perebutan’ barang di pasar global. Pengalaman kesulitan kita menambah impor sapi pada kuartal I tahun ini menunjukkan kondisi itu,” lanjutnya.

Bagaimanapun, Bayu menyoroti pula dilema yang harus dihadapi pemerintah dalam menjaga pasokan dan stabilitas harga di dalam negeri di tengah pergerakan harga internasional.

Untuk komoditas yang aktivitas impornya banyak dilakukan oleh pelaku usaha swasta, terdapat tantangan jika harga terlalu tinggi dan pebisnis lebih memilih menahan impor.

“Untuk menjaga pasokan tetap terjaga, memang serba sulit. Jika pemerintah tidak intervensi [ikut impor], bisa terjadi inflasi atau berdampak ke aktivitas hilirnya. Namun jika diintervensi, perlu APBN untuk meringankan harga dan tetap swasta yang harus mengimpor,” kata Bayu.

Dengan sejumlah alasan, perusahaan pelat merah dinilai Bayu tidak selalu sanggup melakukan impor. Selain kesiapan administrasi, penjual di negara asal pun belum tentu langsung memberi kepercayaan kontrak kepada BUMN.

“Karena itu, impor harus direncanakan dan diantisipasi sedini mungkin karena prosesnya yang tidak mudah dan membutuhkan waktu. Alternatif lain ya kita terima harga di dalam negeri naik karena situasi global,” ujarnya.\

STRATEGI PENGUSAHA

Di sisi lain, para pelaku usaha memutuskan untuk melanjutkan impor sejumlah komoditas pangan meskipun harga secara global terus mengalami kenaikan. Impor sendiri dilakukan dalam jumlah terbatas untuk memenuhi kebutuhan.

“Sepanjang masih ada permintaan dari customer kami selalu sediakan stoknya. Akan tetapi, memang jumlahnya terbatas,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) Suhandri.

Dia menjelaskan ketersediaan daging sapi impor di dalam negeri tak selalu dipengaruhi oleh kondisi harga impor. Menurutnya, hal ini juga dipengaruhi oleh stok di negara pemasok.

Sebagaimana diketahui, Australia sebagai negara pemasok terbesar daging sapi untuk Indonesia tengah melalui proses pemulihan populasi usai stok sapi di negara tersebut turun drastis.

“Barang itu belum tentu ada, meskipun ada harga dan importir menyanggupi, dari negara pemasok belum tentu tersedia,” lanjutnya.

Dari sisi harga pun daging sapi asal Australia disebutnya belum tentu masuk ke pasar dalam negeri. Dia memberi contoh harga di tingkat eksportir untuk daging sapi yang mencapai Rp105.000 per kilogram.

Saat masa normal, harga daging sapi impor masih di level Rp95.000 per kilogram saat tiba di Tanah Air.

“Jadi kendalanya di situ, dan pasokan dari negara lain pun terbatas karena dari sisi kualitas dari Australia tetap lebih baik,” kata dia.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) Hidayat mengatakan bahwa importir kedelai tetap melanjutkan importasi selama permintaan masih ada. 

Hal ini setidaknya tecermin dari volume impor pada 2020 yang masih cukup tinggi meskipun tren kenaikan harga telah terlihat.

“Sejauh ini impor tergantung demand dan dari perajin pun masih melakukan pembelian,” kata dia.

 Sepanjang 2020, impor biji kedelai Indonesia mencapai 2,47 juta ton. Volume ini 200.000 ton lebih rendah dibandingkan dengan importasi pada 2019 yang mencapai 2,67 juta ton.

“Kalau jelang Lebaran permintaan memang terbatas. Namun, untuk setelah Lebaran kami akan lihat lagi. Saya perkirakan permintaan tetap bagus,” kata dia.

Pada perkembangan lain, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan) memastikan bahwa stok daging sapi selama Idulfitri memadai untuk memenuhi kebutuhan. Dari sisi harga, harga daging sapi impor terpantau lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi lokal.

“Saat ini BKP terus melakukan pemantauan terhadap kondisi di lapangan di antaranya dengan melakukan kunjungan langsung pada beberapa RPH [rumah potong hewan] dan distributor di wilayah Jabodetabek dan Bandung Raya untuk melihat stok daging sapi yang ada saat ini," ujar Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan BKP Risfaheri.

Dia mengatakan kondisi ketersediaan pasokan dan harga daging sapi cenderung aman. Hasil kunjungan ke sejumlah RPH di Jabodetabek dan Bandung Raya memperlihatkan harga daging sapi (karkas) di tingkat RPH bervariasi mulai dari Rp 96.000 per kilogram (kg) sampai Rp103.000 per kg untuk sapi lokal. Sementara untuk sapi bakalan eks impor dijual di kisaran Rp100.000 sampai Rp104.000 per kg.

“Terjadinya variasi harga ini tergantung dari kondisi dan kualitas sapi itu sendiri, serta biaya jasa pemotongan yang juga berbeda di setiap RPH,” lanjutnya.

Harga daging sapi, kata Rishaferi, diramalkan akan terus mengalami pergerakan seiring naiknya permintaan dari masyarakat. Permintaan yang naik terlihat dari jumlah sapi yang dipotong setiap harinya.

Untuk di RPH Bayur, Karawaci misalnya, rata-rata jumlah sapi yang dipotong per hari sebanyak 35 ekor pada hari biasa. Namun, jumlah sapi yang dipotong mendekati Lebaran diprediksi naik 7 sampai 8 kali lipat menjadi 250 ekor per hari.

"Terjadinya kenaikan harga daging menjelang Idulfitri, menurut pedagang daging, adalah karena harga daging sapi hidupnya yang sudah mahal. Namun, menurut pengakuan pengelola RPH, dari segi ketersediaan sapinya cukup. Hanya memang harga sapi hidup sudah naik sehingga harga daging di pasar eceran juga mengalami kenaikan,” kata dia. (Iim F. Timorria)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.