Industri Farmasi Bertaji Selama Pandemi, Ternyata Hanya Mitos!

Pelaku industri memproyeksikan kinerja sektor farmasi tahun ini minus 1,9%, kontradiktif dengan gembar-gembor pemerintah bahwa farmasi merupakan salah satu lini yang berkinerja paling moncer selama pandemi.

25 Agt 2021 - 17.52
A-
A+
Industri Farmasi Bertaji Selama Pandemi, Ternyata Hanya Mitos!

Pedagang obat menunggu pembeli di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (11/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis, JAKARTA — Gembar-gembor bahwa industri farmasi menjadi sektor yang paling cuan selama pandemi Covid-19 termentahkan oleh pelaku usaha yang justru melaporkan data kinerja minus dari lini tersebut.

Ketua Umum Pharma Materials Management Club (PMMC) Kendrariadi Suhanda membeberkan hingga kuartal I/2021, kinerja tahunan industri farmasi terkontraksi sangat dalam, yaitu minus 12,6%.

Penurunan kinerja paling konkret terjadi pada lini obat resep branded yang minus 14,3% untuk merek lokal dan 13,7% untuk merek asing.

Artinya, secara rerata pada segmen ini terjadi penurunan 14% sepanjang tiga bulan pertama tahun ini dari rentang sama tahun lalu.

Kendrariadi menyebut pertumbuhan industri obat resep umum juga turun 13,1%, kemudian obat generik tidak bermerek minus 9,2%, dan terakhir pada kategori obat bebas atau tanpa resep minus 10,4%.

"Memang jika dibandingkan dengan berbagai data publik selama ini sangat berbeda karena kami sudah dianggap sektor yang mengalami pemulihan, padahal kami tidak merasa begitu. Farmasi bahkan diproyeksikan tumbuh double digit atau di atas 10% tahun ini," katanya, Rabu (25/8/2021).

Kendrariadi menyebut proyeksi optimistis tersebut tentunya menjadi asa para pelaku industri farmasi saat ini, kendati realitasnya tidak sesuai harapan.

Untuk itu, dia berpendapat agar pertumbuhan yang diharapan dapat tercapai, sektor ini membutuhkan adanya kerja sama seluruh pihak.

"Sekarang kondisi industri farmasi itu harus efisien, kalau dahulu ‘merdeka atau mati’ sekarang ‘efisien atau mati’ supaya tetap dapat memberi sumbangsih pada kinerja industri secara keseluruhan di Indonesia," ujarnya.

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) per kuartal II/2021 sektor industri kimia, farmasi, dan obat tradisional diklaim tumbuh 9,15% secara tahunan.

BPS bahkan menyebut khusus subsektor farmasi dan obat tradisional saja per kuartal II/2021 tumbuh 15,06% karena adanya peningkatan produksi obat-obatan untuk memenuhi permintaan domestik dalam menghadapi Covid-19.

Sementara itu, jika masih mengacu proyeksi IQVIA, industri justru farmasi diperkirakan belum akan tumbuh positif tahun ini atau alias minus 1,9%.

Pada tahun lalu, pertumbuhan industri farmasi hanya didorong oleh produk berkaitan dengan imunomodulator sedangkan serapan obat di luar Covid-19 tercatat minus hingga 11%.

Setali tiga uang, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) turut memaparkan kondisi industri farmasi nasional selama pandemi yang justru kesulitan menghadapi persaingan kian ketat.

Apalagi, dengan struktur industri yang saat ini 95% masih harus mengimpor bahan baku obat (BBO). 

Pedagang obat melayani pembeli di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (11/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Ketua Komite Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku GPFI Vincent Harijanto mengatakan selama pandemi peningkatan permintaan hanya terjadi pada obat Covid-19 yang jumlahnya hanya sekitar 20 item, sedangkan obat umum berjumlah lebih dari 250 item.

Belum lagi, pada masa pandemi selain masyarakat yang takut ke rumah sakit atau klinik tak sedikit pula dokter yang khawatir menerima pasien.

"Akibatnya produksi obat berkurang, serapan bahan baku pun berkurang yang akhirnya berdampak pada PBFBO [Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat]. Belum lagi dengan kondisi sulit banyak industri yang langsung melakukan impor sendiri dari produsen BBO di China atau India," katanya.

Vincent menjelaskan pasar BBO di Indonesia saat ini mencakup 20% dari total pasar industri farmasi. Artinya, jika pasar industri farmasi saat ini sekitar Rp75 triliun, nilai pasar BBO saja mencapai Rp15 triliun.

Meski demikian, Vincent menyebut dalam kondisi yang sulit, PBFBO di Indonesia masih saling bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan yang ada.

Terlebih, isu kesulitan kontainer dan kenaikan biaya logistik juga turut dirasakan industri farmasi saat ini.

DUA PELAJARAN

Terpisah, Menteri Perindustrian mengelaborasi ada dua pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman Covid-19 yang mulai melanda Indonesia sejak Maret tahun lalu.

Pertama, pandemi membuat seluruh pihak menyadari struktur industri farmasi dan alat kesehatan (alkes) banyak yang bolong dan harus segera diselesaikan. Kedua, Indonesia ke depan harus mandiri dalam sektor kesehatan.

"Untuk obat, bahan baku yang berbasis kimia saat ini memang dikuasai negara tertentu. Bahkan, tidak mudah mereka membagi formula bahan bakunya, untuk itu kami mencari jalur lain," kata Agus dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (25/8/2021).

Jalur lain yang dimaksud Agus yakni dengan mendorong obat modern asli Indonesia atau OMAI berbasis fitofarmaka. Dengan strategi tersebut, saat ini Agus menyebut sudah ada sejumlah perusahaan farmasi lokal yang menghasilkan OMAI.

Agus mencontohkan salah satunya oleh produsen obat, Dexa dengan obat Diabetes berbasis herbal yang bahkan kini telah dipakai untuk obat resep para dokter di Amerika Serikat dan Inggris. Agus menegaskan dengan masuk kategori OMAI artinya obat ini memiliki konten lokal yang tinggi.

"Jadi kita tidak kehilangan akal dengan negara lain. Begitu pula di alkes, sejak Indonesia merdeka belum pernah ada produsen ventilator di sini tetapi pandemi membuktikan bahwa anak bangsa mampu dalam waktu yang singkat dan kualitas yang tinggi," ujar Agus.

Adapun, produsen ventilator tersebut adalah PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri (YPTI) yang kini juga tengah merampungkan prototipe untuk produk oksigen konsentrator.

Agus memastikan ke depan Kementerian Perindustrian akan terus aktif mendorong terciptanya produksi-produksi obat atau alkes pabrikan lokal.

Namun, menurutnya, Kemenperin tidak bisa melakukan sendiri tanpa kerjasama yang baik dari pihak lain.

"Jadi pertanyaannya kenapa baru sekarang kita bisa? Ini harus dijawab oleh banyak pihak. Sekarang pun kami butuh dukungan banyak pihak untuk mempercepat kemandirian baik dari proses uji klinis hingga izin-izin yang harus dipenuhi setiap produsen," kata Agus.

Reporter : Ipak Ayu Nurcaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.