Mengukur Seberapa Besar Dampak Kebijakan IRA AS ke Indonesia

Melalui Undang-Undang Penurunan Inflasi (Inflation Reduction Act/IRA), AS menyiapkan subsidi hijau bagi mineral yang digunakan untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik termasuk teknologi energi bersih, yakni sebesar US$370 miliar.

Ibeth Nurbaiti

11 Apr 2023 - 17.49
A-
A+
Mengukur Seberapa Besar Dampak Kebijakan IRA AS ke Indonesia

Bisnis, JAKARTA — Rencana Pemerintah Amerika Serikat yang akan menerbitkan pedoman kredit pajak bagi produsen baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di bawah Undang-Undang Penurunan Inflasi (Inflation Reduction Act/IRA) menimbulkan kekhawatiran terhadap komoditas mineral kritis Indonesia.

Melalui UU tersebut, AS menyiapkan subsidi hijau bagi mineral yang digunakan untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik termasuk teknologi energi bersih, yakni sebesar US$370 miliar.

Namun, baterai EV yang mengandung komponen sumber mineral Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak IRA secara penuh, karena Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri nikel.

Baca juga: Menepis Aral Investasi Baterai Kendaraan Listrik

Itu sebabnya, pemerintah langsung bereaksi dengan mengajukan proposal perjanjian perdagangan bebas terbatas atau limited free trade agreement (FTA) dengan Pemerintah Negeri Paman Sam itu. 

Harapannya, perjanjian dagang itu dapat membuat Indonesia tetap kompetitif sebagai negara tujuan investasi baterai hingga komponen kendaraan listrik selepas AS mengeluarkan kebijakan IRA tersebut pada pertengahan tahun lalu.

Baca juga: Eksplorasi Masif dan Agresif Pertamina Hulu Berburu 'Big Fish'

Namun, bagi industri pertambangan baik di hulu maupun hilir diyakini tidak terlalu terdampak oleh kebijakan diskriminatif insentif baterai hingga kendaraan listrik yang diatur Pemerintah AS dalam IRA tersebut.


Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, industri tambang bijih nikel di dalam negeri belum sampai pada produk hilir bernilai tinggi, mengingat sebagian besar produk yang dihasilkan baru sebatas pengolahan awal bijih nikel kadar rendah atau limonit, seperti nikel sulfat dan kobalt sulfat. 

Adapun, sejumlah produk itu dijual kembali ke sejumlah negara untuk kemudian diolah menjadi produk lanjutan bahan baku baterai listrik, seperti prekursor dan katoda. Menurut Meidy, beberapa negara tujuan ekspor barang setengah jadi itu di antaranya China, Jepang, dan Korea Selatan. 

Baca juga: Jalan Panjang RI Keluar dari Jeratan 'Ekspor Paksa' Bijih Nikel

Dengan demikian, keterikatan produk olahan nikel untuk pasar Amerika Serikat saat ini belum signifikan. “Pengusaha, baik hulu dan hilir tidak terlalu terdampak banyak ya. Kita [Indonesia] dimasukkan ke dalam IRA karena produknya kita kan masih setengah jadi, belum sampai hilir banget,” kata Meidy dalam siaran Mining Zone CNBC, Senin (10/4/2023). 

Situasi pasar itu, kata Meidy, membuat kebijakan IRA saat ini belum berdampak serius pada pengaruh investasi serta perdagangan olahan bijih nikel di dalam negeri. Kendati demikian, dia berharap agar pemerintah dapat memperbaiki aspek lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola atau ESG dalam pertambangan hingga pemurnian sejumlah material kritis di Indonesia untuk meningkatkan daya tawar Indonesia pada kebijakan IRA mendatang. 

Baca juga: Bersiasat Menjadi 'Raja' Baterai Kendaraan Listrik Dunia

“Kembali lagi kita bicara insentif Pemerintah Amerika Serikat untuk green energy dalam rangka menuju EBT [energi baru terbarukan]. Sekarang apakah kita sudah layak menerima itu, apakah kita sudah sesuai dengan good mining practices sejalan dengan UU IRA tersebut,” ujarnya.

Seperti diketahui, sejumlah komitmen investasi pada penghiliran mineral kritis dan batu bara di Indonesia belakangan batal dilaksanakan akibat daya tarik IRA yang kuat bagi investor global, salah satunya Air Products & Chemical Inc (APCI).


Perusahaan asal Paman Sam itu belakangan menarik komitmen investasi mereka sebesar US$2,1 miliar atau setara dengan Rp30 triliun dari proyek pengembangan gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) bersama dengan PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) di Muara Enim, Sumatra Selatan awal tahun ini.

Selain itu, APCI lewat usaha patungan bersama dengan PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Ithaca Resources, PT Air Products East Kalimantan (PT APEK), juga menarik investasi mereka sebesar Rp33 triliun untuk proyek penghiliran batu bara menjadi metanol dari kesepakatan bersama dengan anak usaha PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), Kaltim Prima Coal (KPC). 

Seperti yang diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, mundurnya APCI dari proyek penghiliran batu bara di Indonesia disebabkan karena paket insentif dan subsidi EBT yang ditawarkan pemerintah dianggap kurang menarik.

Baca juga: Potensi Besar Kobalt, Primadona Baru Bahan Baku Baterai EV

“Air Product merasa di Amerika Serikat lebih menarik bisnisnya jadi dia ke sana, dengan adanya subsidi untuk EBT jadi ada proyek yang lebih menarik untuk hidrogen, Amerika lagi mendorong pemakaian itu,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (17/3/2023). 

Tak hanya itu, imbuhnya, sejumlah komitmen investasi pengembangan EBT di beberapa negara Eropa turut susut akibat Undang-Undang Penurunan Inflasi Amerika Serikat tersebut. “Itu yang menyebabkan investor banyak lari ke sana [Amerika Serikat],” ujarnya. 

Baca juga: Pro Kontra Larangan Ekspor Konsentrat Tembaga & Bujuk Rayu PTFI

Itu sebabnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai positif inisiatif pemerintah untuk mengajukan proposal FTA dengan pemerintah AS.

Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kadin Muhammad Yurizki mengatakan, inisiatif itu diharapkan dapat menjaga keberlanjutan investasi serta rantai nilai pasok bijih nikel hingga turunannya untuk salah satu pasar kendaraan listrik terbesar di dunia, AS mendatang.

“Ini harus kita dorong pemerintah untuk melakukan terobosan-terobosan ini. Kalau tidak dapat FTA-nya, nikel kita tidak bisa dimasukkan ke dalam kredit pajak IRA nanti,” kata Yurizki saat dihubungi, Senin (10/4/2023). 

Situasi itu, kata Yurizki, membuat investasi serta penggunaan mineral kritis bahan baku kendaraan listrik asal Indonesia tidak kompetitif untuk dikembangkan sejumlah pabrikan asal AS. 

Baca juga: Pantang Mundur Indonesia Membawa Nikel EV RI ke Kancah Global

Konsekuensinya, hasil olahan bijih nikel yang telah dikembangkan di dalam negeri tidak dapat dipasarkan ke dalam rantai pasok industri manufaktur baterai serta kendaraan listrik di dunia nantinya. 

“Supaya nikel kita diperhitungkan yang menjadi syarat dapat tax credit bagi produsen di sana maka dia harus dimasukkan ke dalam IRA lewat FTA tersebut,” tuturnya. 

Baca juga: Simbiosis Mutualisme PLN dan Industri Strategis Pacu Penghiliran

Bagaimana pun, seperti yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya, Indonesia memiliki daya tawar yang kuat untuk mengajukan FTA secara terbatas dengan pemerintah AS. Alasannya, Indonesia memiliki potensi cadangan mineral kritis terbesar di dunia untuk komponen bahan baku baterai hingga kendaraan listrik di dunia.

Luhut berharap agar perjanjian dagang itu dapat membuat Indonesia tetap kompetitif sebagai negara tujuan investasi baterai hingga komponen kendaraan listrik selepas AS mengeluarkan kebijakan IRA tersebut pertengahan tahun lalu. (Nyoman Ary Wahyudi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.