Siap-siap Bertransformasi, Era 5G Dimulai Hari Ini!

Untuk menghadirkan 5G, industri telekomunikasi di Indonesia telah mengalami jatuh bangun beberapa tahun terakhir. Terlepas dari hal itu, lahirnya era 5G di Indonesia diproyeksi mengubah banyak sistem kerja di berbagai sektor.

27 Mei 2021 - 10.59
A-
A+
Siap-siap Bertransformasi, Era 5G Dimulai Hari Ini!

5G komersial oleh Telkomsel./dok. Telkomsel

Bisnis, JAKARTA — Hari ini, Kamis (27/5/2021), 5G komersial pertama diagendakan meluncur di Indonesia melalui layanan PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel). Mimpi Indonesia untuk menjadi negara pengguna teknologi terbaru pun akhirnya terwujud.

Untuk menghadirkan 5G, industri telekomunikasi di Indonesia telah mengalami jatuh bangun beberapa tahun terakhir.

Sempat digadang-gadang meluncur pada 2020, teknologi jaringan generasi kelima luput dari target eksekusi akibat diadang kendala frekuensi dan regulasi.

Bagaimanapun, aral melintang tersebut tak memadamkan para operator seluler untuk bersaing menjadi pionir 5G di Tanah Air.

Kompetisi sengit khususnya terjadi antara Telkomsel dan PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN), yang memiliki frekuensi paling memadai untuk menggelar 5G.

Pada akhirnya, Telkomsel keluar sebegai ‘pemenang’ setelah berhasil mengantongi surat keterangan laik operasi (SKLO) teknologi 5G dari Kementerian Komunikasi dan Informatika awal pekan ini.

Terlepas dari hal itu, lahirnya era 5G di Indonesia diproyeksi mengubah banyak sistem kerja di berbagai sektor di Indonesia.

Latensi rendah yang dihadirkan teknologi generasi kelima dapat menghadirkan berbagai solusi baru di berbagai sektor, mulai dari kesehatan; usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); hingga otomotif.

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi mengatakan kehadiran 5G pada tahap awal ini akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas layanan internet cepat.  

Dengan spektrum frekuensi sebesar 50MHz di pita 2,3 GHz, sebut Ridwan, kecepatan internet 5G yang dihadirkan Telkomsel akan lebih baik dibandingkan dengan 4G.

Jaringan teknologi tersebut juga dapat mengatasi kelebihan beban data  yang  terjadi di beberapa wilayah layanan Telkomsel.

Kelebihan beban data membuat kualitas layanan menurun ditengah kondisi adopsi digital yang melesat di masyarakat.  

“Di banyak tempat kapasitas 4G sudah maksimal, tidak bisa ditambah lagi dengan penambahan base transceiver station (BTS)” kata Ridwan, Kamis (27/5/2021).

Adapun, lanjutnya, tahap selanjutnya 5G akan mendukung program digitalisasi UMKM dan implementasi Revolusi Industri 4.0 dengan solusi masif internet untuk segala atau internet of things (IoT) dan aplikasi untuk misi penting.

Teknologi 5G yang memiliki latensi 10 kali lipat lebih rendah dari 4G—yaitu di bawah 1 milidetik—nantinya dapat mendukung sejumlah aktivitas jarak jauh seperti operasi jarak jauh, hingga kendaraan otomatis atau nirawak.

Latensi adalah jeda waktu yang dibutuhkan dalam pengantaran data dari pengirim ke penerima atau perangkat.

Makin tinggi jeda waktu maka makin lambat respons yang diberikan penerima atas perintah yang dikirim.

“Misalnya untuk aplikasi pengobatan jarak jauh. Dokter ikut mengawasi proses operasi pasien dari jarak jauh. Dokter butuh kondisi waktu nyata dan itu hanya dapat terwujud dengan bandwidth yang lebih lebar lewat 5G. Sedangkan IoT untuk kendaraan otomatis,” kata Ridwan.

Solusi automasi robotic yang digerakan dengan jaringan 5G Telkomsel untuk melayani masyarakat yang diperkenalkan di sela peluncuran 5G di Telkom Hub, Gatot Subroto, Jakarta pada Kamis (27/5/2021)./Bisnis-Leo Dwi Jatmiko

Sekadar gambaran, dalam acara berbagi informasi mengenai 5G yang digelar Huawei pada 2019, diketahui bahwa Teknologi 3G memiliki tingkat latensi 100 milidetik. 

Jika kendaraan tanpa awak menggunakan teknologi ini, ketika diperintahkan untuk berhenti oleh sensor mobil, mobil tersebut niscaya baru akan merespons perintah ketika sudah berjalan sepanjang 330 cm  dari waktu atau jarak mobil mendapat perintah. Risiko kecelakaan cukup besar.

Sementara itu, teknologi 4G memiliki karakteristik latensi 50 milidetik. Kendaraan baru menaati perintah setelah berjalan 167 cm dari jarak mobil tersebut mendapat perintah.

Adapun, teknologi 5G menjadi teknologi yang paling tepat untuk mendukung operasional mobil otomatis.  Dengan latensi 1 milidetik, kendaraan akan langsung menjalankan perintah dari sensor. 

Teknologi 5G yang terpasang di menara pemancar atau base transceiver station (BTS) akan menghubungkan kendaraan dengan kendaraan, kendaraan dengan manusia, dan kendaraan dengan bangunan, sehingga ketiga benda tersebut akan ditolak oleh mobil ketika berada di jarak tertentu. 

Dua sensor yang masing-masing terpasang di depan, samping dan belakang mobil, akan terus menjaga jarak aman mobil sehingga ketika ada benda yang berdekatan, mobil akan langsung mengelak seperti dua kutub magnet serupa yang didekatkan. 

Ketika teknologi 5G diterapkan secara efektif, fungsi lampu lalu lintas akan berkurang drastis, karena setiap kendaraan telah berjalan dengan sistem jaringan 5G.

KOTA PINTAR

Tak hanya itu, kehadiran teknologi 5G diyakini bakal mendorong hadirnya lebih banyak kota cerdas di Tanah Air. 

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan infrastruktur jaringan generasi kelima akan membuat arus data makin deras sehingga dapat menopang sistem kecerdasan buatan di kota cerdas.  

Dia mengatakan infrastruktur 5G akan membuat laju pengiriman, penerimaan dan pertukaran data menjadi lebih masif dibandingkan dengan 4G, sehingga dapat tercipta maha data.

Data-data yang terkumpul tersebut kemudian dianalisis dan melahirkan solusi berbasis kecerdasan buatan.

Secara teori jaringan 5G diperkirakan memiliki kecepatan hingga 20 kali lipat dari jaringan 4G, dengan rata-rata kecepatan di atas 1Gbps. Artinya, arus data yang mengalir di era 5G bisa 20 kali lipat lebih cepat dari teknologi sebelumnya.  

“Akses infrastruktur internet cepat akan mendukung pertukaran data, pengiriman dan penerimaan data misal di pengembangan kota cerdas, otomatisasi pabrik atau kendaraan,” kata Heru.

Heru memperkirakan Ibu Kota Baru dikembangkan sebagai kota pintar dengan solusi yang dihadirkan 5G.

Jaringan internet generasi kelimat itu akan mendukung kerja sensor dan IoT di Ibu Kota Baru.

“Selain jadi bagian dari transformasi digital, juga menunjukkan bahwa kita bangsa yang tangguh. Meski pandemi, adopsi teknologi baru terus dilakukan,” kata Heru.

KEBUTUHAN FREKUENSI

Berbagai pakar, sayangnya, menilai ambisi menggelar 5G dari beberapa operator telekomunikasi belum sepenuhnya diimbangi dengan kecukupan frekuensi tambahan untuk menghadirkan generasi kelima. Risikonya, kualitas jaringan yang dihasilkan tidak akan optimal.

Heru mengatakan untuk menggelar 5G secara optimal dan mendapatkan layanan data berkecepatan tinggi, dibutuhkan pita frekuensi minimal 100 MHz.

Jika operator telekomunikasi tetap berupaya menghadirkan 5G bermodalkan infrastruktur telekomunikasi dan spektrum frekuensi yang dimiliki, kualitas layanan yang dihasilkan akan sangat rendah bahkan mendekati 4G.

“Bisa saja, dengan frekuensi kurang dari 100 MHz, 5G tetap diadopsi tetapi tidak maksimal. Istilahnya ‘5G 5G-an’, atau ‘5G rasa 4G’ atau bahkan ‘rasa 3G’. Sayang teknologinya, tidak perlu migrasi 5G kalau seperti itu,” kata Heru.

Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ITB Ian Yosef M. Edward mengatakan sangat sulit bagi operator seluler untuk menggelar 5G hanya bermodalkan infrastruktur telekomunikasi yang telah terbangun atau existing.

“Rata-rata operator—di luar Telkomsel dan Smartfren— punya frekuensi sekitar 20—30 MHz, tetap bisa menjalankan 5G, tetapi tidak ideal. Operator yang memiliki spektrum frekuensi lebih lebar, lebih bagus,” kata Ian.

Dia memperkirakan dengan 20 MHz, kecepatan 5G yang akan dirasakan oleh pengguna sekitar 80—160 Mbps. Kecepatan tersebut berisiko turun, seiring dengan jumlah pengguna yang makin banyak.

Agar infrastruktur telekomunikasi yang telah dibangun operator seluler dapat mengalirkan layanan 5G yang sebenarnya, kata Ian, operator perlu berkolaborasi.

Dia mencontohkan salah satu skema kerja sama bisa dilakukan di pita frekuensi 2,3 GHz. Seandainya Tri, Telkomsel, dan Smartfren bekerja sama, ketiganya akan merasakan manfaat 5G dengan pita frekuensi sebesar 90 MHz.

Seandainya berbagi spektrum frekuensi dilakukan di pita 1800 MHz oleh para penghuni di spektrum tersebut—yaitu Indosat, XL Axiata, Telkomsel, dan Tri—maka total frekuensi untuk 5G yang digunakan lebih kecil yaitu 75 MHz.

“Kalau 90 MHz kecepatannya sudah bagus sekali itu,” kata Ian.

Penggelaran 5G dengan skema berbagi spektrum merupakan hal yang wajar di industri telekomunikasi.

Sejumlah negara seperti Australia, China, Jerman, Perancis, Korea Selatan, Hong Kong, dan lain sebagainya telah menggelar 5G dengan berbagi spektrum.

HEMAT INVESTASI

Kementerian Komunikasi dan Informatika pun menyampaikan bahwa diperbolehkannya kerja sama spektum frekuensi di dalam UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja bertujuan untuk menghemat ongkos investasi operator dalam menggelar 5G.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate sebelumnya menegaskan dalam mendorong hadirnya 5G ke Tanah Air, pemerintah tengah menyiapkan payung hukum kemudahan berbagi spektrum frekuensi antar operator, melalui peraturan turunan UU Cipta Kerja.  

“Untuk 5G kami sudah mempersiapkan regulasi berbagi infrastruktur dan 11 kali uji coba, selanjutnya akan dimulai dengan implementasinya jangan berpikir,” kata Johnny kepada Bisnis, belum lama ini.

Menurutnya, semangat berbagi infrastruktur aktif dan pasif dalam UU Cipta Kerja adalah untuk mempercepat pengembalian investasi atau return of investment (RoI) yang telah digelontorkan operator dalam menggelar jaringan 5G.

Dengan pengembalian investasi yang makin cepat, operator seluler dapat mengembangkan kembali jaringan telekomunikasi di titik baru.

“Masalah yang terjadi sekarang, semua perusahaan memiliki investasi sendiri. Akibatnya terjadi investasi yang tumpang tindih dan over investasi. Itulah munculnya gagasan berbagi infrastruktur,” kata Johnny.  

Terkait dengan harapan sejumlah operator yang ingin agar berbagi spektrum frekuensi juga diperbolehkan untuk 4G, Johnny menyebut operator tersebut belum memahami UU Cipta Kerja.

Dalam undang-undang, aktivitas berbagi spektrum frekuensi hanya diperbolehkan untuk teknologi baru.  

“Dia [Operator] sudah baca undang-undang kah, sebelum bicara? Kalau sudah baca berarti belum mendalami,” kata Johnny.  (Leo Dwi Jatmiko)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.