Dependensi Impor Vaksin, Pembeban Neraca Perdagangan Indonesia

Tugas berat mengamankan stok vaksin Covid-19 dihadapkan pada dilema menjaga keseimbangan neraca perdagangan Indonesia. Lantas, apa jalan keluar yang mesti ditempuh pemerintah?

23 Agt 2021 - 15.37
A-
A+
Dependensi Impor Vaksin, Pembeban Neraca Perdagangan Indonesia

Kemasan vaksin Covid-19 diperlihatkan di Command Center serta Sistem Manajemen Distribusi Vaksin (SMDV) PT Bio Farma (Persero), Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/1/2021). Bisnis/Rachman

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah dinilai perlu mematangkan peta jalan untuk melepas ketergantungan impor vaksin Covid-19, yang selama ini tanpa diasadari menjadi batu pemberat kinerja neraca perdagangan Indonesia.

Salah satu langkah strategis yang harus menjadi prioritas dalam peta jalan tersebut adalah mengebut pengembangan serta produksi Vaksin Merah Putih (VMP), sehingga dapat digunakan pada pertengahan 2022 dan mengurangi dependensi RI terhadap vaksin impor dari China.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menjabarkan selama ini pembengkakan impor produk farmasi, khususnya dari golongan vaksin, cukup membebani neraca perdagangan.

Dengan dikebutnya produksi VMP, Indonesia diharapkan makin mandiri dalam upaya penanganan pandemi.

"Tidak adanya impor vaksin dengan hadirnya Vaksin Merah Putih akan berpengaruh bagi perekonomian Tanah Air. Sebab, impor [produk farmasi] bisa ditekan sehingga efeknya positif terhadap neraca dagang RI ke depan," ujarnya, Minggu (22/8/2021) malam.

Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor dari sektor industri farmasi pada Juli 2021 membengkak cukup signifikan, didorong oleh melonjaknya pembelian vaksin Covid-19 oleh pemerintah.

Nilai impor produk farmasi dalam kelompok kode HS 30 pada Juli mengalami kenaikan terbesar secara bulanan, yakni bertambah US$185,5 juta.

Impor produk farmasi kelompok kode HS 30 pada Juni 2021 mencapai US$278,74 juta. Artinya, nilai impor pada Juli mencapai nilai sekitar US$464,24 juta.

Adapun, kenaikan impor produk farmasi terbesar pada Juli berasal dari pemasukan vaksin, yang nilainya mencapai US$150 juta.

Jika melihat dari negara asal, pemasok produk farmasi terbesar bagi Indonesia berturut-turut a.l. China, Jepang, dan Spanyol.

Nilai impor produk farmasi sepanjang semester I/2021 juga tercatat mencapai US$1,33 miliar. Nilai ini naik dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya yang bernilai US$570,64 juta.

Melihat data tersebut, Aviliani berharap pemerintah ke depannya bisa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan lain dari dunia kesehatan sehingga ketika terjadi pandemi, Indonesia tidak lagi terbebani biaya impor vaksin.

Pemerintah, sambungnya, harus melakukan riset dari jauh-jauh hari terkait dengan kemungkinan-kemungkinan kondisi kahar dan mengambil langkah cepat, baik untuk pengembangan vaksin di dalam negeri maupun penyediaan obat-obatan.

"Jangan ketika sudah ada musibah baru dibikin pabriknya. Jadi, harus ada planning juga agar pengeluaran negara tidak terbebani dengan adanya keharusan mengimpor," sambungnya.

Petugas menata vaksin Covid-19 Sinovac di lemari pendingin gudang Instalasi Farmasi, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (12/1/2021). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah

TAMBAH STOK

Pada perkembangan lain terkait dengan impor vaksin, pada Senin (23/8/2021) siang, Indonesia kembali menerima stok 5 juta dosis vaksin tambahan dari Sinovac yang tiba di Bandara Soekarno Hatta.

Dengan tambahan tersebut, secara total Indonesia telah mengamankan lebih dari 200 juta dosis vaksin Covid-19 impor dengan berbagai jenis dan merek.

Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Heru Pambudi menjelaskan upaya mengamankan stok vaksin dalam jumlah banyak bukan perkara mudah.

"Di tengah kelangkaan vaksin di dunia saat ini, memastikan ketersediaan stok vaksin bukanlah tugas yang mudah. Indonesia patut bersyukur [menjadi] negara yang berhasil mengamankan stok vaksin untuk kebutuhan perlindungan warga," kata Heru dalam konferensi pers virtual.

Dia melanjutkan penggunaan vaksin yang tersedia saat ini perlu dioptimalkan sesegera mungkin. Optimasi ini bisa terjadi bila masyarakat segera bergegas untuk melakukan vaksin di titik-titik sentra vaksinasi terdekat.

"Saya meyakini semua ini bisa kita lakukan dan saya meyakini jika segenap bangsa Indonesia bersatu, berjuang bersama-sama, bergotong-royong, ada jalan untuk menjadi lebih baik," kata Heru.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan agar vaksinasi 2 juta dosis per hari bisa terwujud sebelum akhir bulan ini.

Melihat situasi di lapangan dan perkembangan sampai saat ini, Kemenkeu optimistis perintah presiden tersebut bisa direalisasikan.

"Dengan dukungan terkait, mudah-mudahan bisa tercapai pada akhir bulan ini," ujarnya.

PROGRES VMP

Terkait dengan progres VMP, saat ini Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman dan Badan Ristek dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah membangun laboratorium animal biosafety level 3 (BSL-3) untuk uji coba terhadap spesies berjenis primata.

Eijkman memperkirakan proses pembuatan fasilitas BSL-3 di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong bisa rampung pada akhir 2021. Sebelumnya, BRIN memperkirakan fasilitas tersebut rampung pada kuartal I/2022.

Menurut Kepala LBM Eijkman Profesor Amin Soebandrio, BSL-3 untuk pengembangan VMP yang menggunakan sistem modular, bisa disiapkan dalam kurun 3—4 bulan. Dengan catatan, proses administrasi bisa berlangsung cepat.

Adapun, uji klinis ke hewan primata diperkirakan bisa dimulai akhir tahun ini. Dengan demikian, pada Juli atau Agustus 2022 VMP diharapkan sudah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Reporter : Herdanang Ahmad Fauzan, Rahmad Fauzan, & Iim F. Timorria

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.