Para Centaur Nekat Mau IPO, Prospek Berbahaya atau Bercahaya?

IPO startup akan terus marak hingga 2022, dengan didominasi oleh pemain-pemain level centaur atau memiliki valuasi di rentang US$100 juta—US$999 juta. Apa saja keunggulan dan kelemahan mereka dibandingkan dengan unikorn, sehingga layak diwaspadai dalam kontestasi di pasar efek?

Janlika Putri, Akbar Evandio & Wike Dita Herlinda

31 Agt 2021 - 13.04
A-
A+
Para Centaur Nekat Mau IPO, Prospek Berbahaya atau Bercahaya?

Ilustrasi IPO/istimewa

Bisnis, JAKARTA — Beberapa waktu terakhir, kabar demi kabar rencana initial public offering atau IPO perusahaan rintisan kian santer. Menariknya, kebanyakan ide untuk melantai di bursa justru dicetuskan oleh pemain yang belum menyandang status unikorn.

Berdasarkan pantauan Bisnis, setidaknya terdapat enam perusahaan rintisan (startup) yang sudah menyatakan maupun baru dirumorkan melakukan penawaran publik perdana dalam jangka pendek.

Mereka a.l. RUN System, Blibli.com, Tiket.com, Dekoruma, Tani Hub, dan GoTo. Dari keenam entitas tersebut, hanya GoTo yang valuasinya diakui sudah menembus di atas US$1 miliar.

Bahkan, perusahan hasil merger Gojek dan Tokopedia telah menyandang status dekakorn dengan valuasi ditaksir melebihi US$10 miliar.

Tren IPO startup, sebagaimana diketahui, sudah dipelopori oleh PT Bukalapak.com Tbk. pada pengujung Juli 2021. Berbekal valuasi sekitar US$3,5 mliar sebelum go public, perusahaan berkode saham BUKA itu pun sudah menyandang gelar unikorn.

Berkaca dari fenomena tersebut, publik pun bertanya-tanya, cukup amankah perusahaan bervaluasi kurang dari US$1 miliar untuk bertarung di lantai pasar saham? Seberapa penting menyandang status unikorn sebagai bekal menjadi perusahaan terbuka?

Berbagai tinjauan pakar ekonomi digital memperkirakan tren IPO startup akan terus marak dilakukan dalam waktu dekat, dengan didominasi oleh pemain-pemain level centaur atau memiliki valuasi di rentang US$100 juta—US$999 juta.

Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura menilai, tidak seperti yang dibayangkan banyak kalangan, kesiapan startup untuk go public sejatinya bukan dinilai berdasarkan statusnya sebagai unikorn atau bukan.

“Namun, dilihat bukunya [laporan keuangannya] sudah positif atau belum. Walaupun dia dekakorn, jika dia bukunya merah semua, tidak akan berani IPO. Sebab, jika sudah IPO, semua buku harus dilihat,” ujarnya, Senin (30/8/2021) malam.

Selain kinerja keuangan, faktor yang paling menjadi penentu bagi startup yang hendak IPO adalah model bisnis yang dijalankan.

Pemain yang masih menggunakan cara lama seperti taktik ‘bakar duit’ dinilainya belum memiliki model bisnis yang sehat sehingga akan sangat riskan jika memutuskan melantai di bursa.

Menurut Tesar, perusahaan centaur sebenarnya justru memiliki peluang cerah ketika masuk ke pasar efek. Sebab, rekam jejaknya masih hijau.

Sebaliknya, startup yang sudah menyandang level unikorn ke atas dengan rekam jejak dan sepak terjang lebih matang cenderung memiliki beban yang lebih berat karena yang dijual dan digadang-gadang semata hanyalah soal valuasi.

“Tren [centaur berencana IPO] ini sangatlah menarik. Unikorn sendiri biasanya sudah punya ketenaran, tetapi bukan berarti itu akan menarik minat publik atau investor bursa. Menurut saya, ketenaran tidak ada hubungan signifikan dengan strategi IPO, karena yang dilihat investor bukan soal ketenaran saja,” ujar Tesar.

Sekadar catatan, laporan DSInnovate Startup Report menyebutkan terdapat ada 27 centaur di Indonesia pada 2019. Jumlah tersebut naik menjadi 43 entitas pada tahun berikutnya.

Dominasi centaur dalam kontestasi rencana IPO juga menjadi sentimen positif terhadap ekosistem perusahaan digital berbasis aplikasi di Indonesia.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpendapat persaingan antar-centaur untuk berburu kapital di pasar efek bakal kian sengit lantaran mereka mengambil momentum kenaikan minat investor ritel dari kalangan milenial.

“Pemain melihat adanya penambahan investor ritel yang naik signifikan selama masa pandemi. Kemudian dibarengi investor asing yang lakukan pembelian bersih [nett buy] saham Rp11,9 triliun dalam 3 bulan terakhir justru pada saat PPKM darurat dan level 4 diberlakukan,” katanya.

Alhasil, Bhima menilai saat ini adalah momentum yang tepat bagi centaur untuk IPO.

Pada 2022, katanya, tantangan lebih kompleks yang mengiringi aksi tersebut adalah risiko aliran modal keluar (capital outflow) sebagai respons penipisan stimulus moneter (tapering) The Federal Reserve. 

Lebih lanjut, dia mengatakan para centaur memiliki keunggulan dibandingkan dengan para unikorn dan dekakorn. Valuasi yang relatif lebih rendah bakal membuat harga saham mereka cenderung lebih terjangkau oleh investor ritel.

“Kemarin waktu IPO Bukalapak, investor ritel berminat, tetapi melihat harga per sahamnya Rp850 akhirnya out of reach [di luar jangkauan alokasi dana]. Namun, kalau ada startup yang IPO kemudian harga sahamnya lebih rendah misalnya Rp100—Rp300 per lembar, mungkin ceritanya beda,” tuturnya.

Selain soal potensi harga saham, rencana IPO dari para centaur akan memperkaya opsi sektor yang bertarung di bursa.

Sebagai contoh, dia mengatakan saham startup di vertikal dagang-el mungkin sudah jenuh karena persaingan lebih mengerucut pada pemain lapis atas (top tier) seperti Tokopedia dan Shopee.

Namun, lain halnya untuk rintisan di bidang pendidikan (edutech) yang tentu akan diminati karena persaingan di ekosistemnya yang belum terlalu ketat, serta prospek jangka panjang masih menarik.

Untuk itu, Bhima menilai analisis terhadap prospek usaha, tim manajemen, hingga inovasi layanan tetap jadi prioritas di mata investor. Sebab, makin banyak startup yang ingin melantai di bursa, kompetisi berburu pendanaan pun akan kian sengit.

“Dampak dari startup yang IPO adalah persaingan akan mengarah pada the winner takes all, kekuatan modal menjadi penentu kemenangan di masing-masing sektor digital,” katanya.

Berdasarkan laporan Ernst & Young (EY), perusahaan teknologi mendominasi IPO secara global selama semester I/2021. Volume IPO secara global meningkat 140% secara year on year (yoy menjadi 1.070 aksi. 

Selain itu, dari sisi nilai, langkah IPO meningkat hingga 215% yoy atau US$ 222 miliar. Adapun, sebanyak 27% di antaranya atau 284 perusahan yang melakukan IPO merupakan perusahaan teknologi.

EY juga memperkirakan perusahaan rintisan Indonesia akan turut memilih skema merger dan akuisisi hingga akhir 2021 dengan bertujuan agar mendapatkan untung pada 2022.

Sebanyak 37% perusahaan tercatat berencana melakukan aksi korporasi seperti merger dan akuisisi secara aktif selama pandemi Covid-19. 

Ilustrasi startup/istimewa

PROSPEK 2022

Pada perkembangan lain, sejumlah pakar memproyeksikan IPO centaur bakal makin semarak pada 2022.

CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro optimistis akan ada banyak perusahaan rintisan yang belum menyandang gelar unikorn berani bertransformasi menjadi perusahaan publik pada tahun depan.

"Peluang ke depan [ekosistem] tetap sehat dan startup merasa bahwa IPO menjadi salah satu opsi menarik yang memberikan likuiditas ke investor atau pendiri sehingga berefek pada sehatnya ekosistem [industri rintisan]," ujarnya.

Menurutnya, perintis yang belum naik ke level unikorn makin membidik pendanaan dari pasar saham untuk mengembangkan bisnis perusahaan.

Sebab, ketika perusahaan sudah go public, akses ke berbagai sarana seperti bank atau pasar uang juga akan lebih mudah. Menerbitkan surat utang untuk jangka pendek atau jangka panjang juga bisa lebih mudah.

Selain itu, citra perusahaan juga akan meningkat karena bisnis perusahaan rintisan yang dikembangkan akan dijadikan sebagai sumber informasi sehingga ketika perusahaan dikenal oleh masyarakat luas, peluang memperoleh lebih banyak klien juga turut meningkat.

“Selain itu, BEI ada tiga papan yaitu utama, pengembangan, dan akselerasi. Sudah ada sejumlah startup yang IPO di papan akselerasi dan pengembangan misalnya Cashlez, Pigijo, dan lainnya. Akan ada yang lainnya ke depan, tantangannya adalah untuk segera profitable dan mempertahankan profitability,” tuturnya.

Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang sepakat bahwa IPO centaur akan mendapat momentum pada 2022, seiring dengan makin tingginya kebutuhan untuk memperkuat modal di luar round investment

“Seharusnya [para centaur] memang harus melihat skema IPO, karena startup yang belum unikorn memiliki lebih sedikit investor yang mengakibatkan kepentingan investor lebih sedikit,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan investor yang masih sedikit dalam menyuntikkan dana membuat perusahaan bisa lebih leluasa dan berani go public sebagai upaya untuk meningkatkan citra perusahaan.

Dianta pun meyakini aksi IPO dari nonunikorn akan lebih aman lantaran pemain sudah melihat Bukalapak sebagai preseden, sehingga mereka akan lebih mempersiapkan narasi yang tepat untuk disampaikan kepada masyarakat.

Selain itu, dia menilai pemain akan mulai berfokus untuk menata dan memperbaiki laporan keuangan perusahaan agar makin baik ke depannya.

“Untuk mempersiapkan itu semua butuh waktu, jadi mungkin [IPO centaur] akan lebih booming tahun depan. Karena semua startup lagi mempelajari apa yang terjadi dengan Bukalapak,” katanya.

Pada akhirnya, taktik bermain para pelaku startup untuk berebut kapital akan terus mengalami perubahan. Saat kompetisi pendanaan melalui round investment dari modal ventura sudah makin ketat, exit strategy dan manuver ke pasar efek menjadi alternatif.

Kini, semua memiliki hak dan peluang yang setara untuk masuk ke pasar. Baik pemain yang masih liliput maupun yang goliat. Semarak para perintis dalam memberikan nuansa baru di bursa pun akan tetap dinanti publik, yang sedang gandrung-gandrungnya dengan investasi efek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.