Satelit Elon Musk, Ancaman Terselubung Megaproyek Satria?

Sebelum mengundang investasi Starlink, seharusnya pemerintah berhitung sejak lama mengenai evolusi layanan satelit sehingga dapat mengalkulasikan dengan matang ihwal kebutuhan Indonesia terhadap teknologi tersebut.

21 Jul 2021 - 20.48
A-
A+
Satelit Elon Musk, Ancaman Terselubung Megaproyek Satria?

Peluncuran satelit Starlink./dok. Starlink

Bisnis, JAKARTA — Rencana kehadiran satelit Starlink, anak usaha SpaceX milik Elon Musk, melalui kerja sama dengan Telkom digadang-gadang dapat membantu pelayanan satelit-satelit milik Indonesia dalam menghadirkan jaringan internet yang lebih andal kepada masyarakat di pelosok.

Pun demikian, satelit Starlink—yang berbasis low-earth orbit (LEO)—juga dikhawatirkan mendisrupsi peran megaproyek nasional Satelit Multifungsi Satria lantaran spesifikasinya yang terlalu andal.

Dalam kaitan itu, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi menjelaskan LEO merupakan masa depan komunikasi satelit.

Sebab, slot orbit untuk satelit geostasioner atau satelit yang mengorbit di ketinggian 36.000 kilometer sangat terbatas sehingga satelit LEO dapat menjadi alternatif solusi.

Dalam beberapa aspek, lanjutnya, satelit LEO dapat menjadi pelengkap bagi Satelit Multifungsi Satria untuk memenuhi kebutuhan akses internet di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) Indonesia.  

“Satelit Satria I diperkirakan tidak akan mampu memegang penuh kebutuhan throughput data dalam beberapa tahun ke depan, sehingga diperlukan Satria II atau III atau kerja sama dengan penyedia satelit asing,” kata Ridwan, Rabu (21/7/2021). 

Sekadar informasi, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) sempat melakukan perhitungan suplai dan kebutuhan data internet di 150.000 titik yang akan terlayani oleh Satria. 

Hasilnya, secara total terdapat 26,52 juta calon penerima internet dari  satelit Satria di ratusan ribu titik tersebut. 

Dengan total penerima tersebut, diperkirakan rata-rata per pengguna hanya akan mendapat kuota sebesar 1,14GB tiap bulan dari Satria.

Kenyataannya, pada 2023 atau saat Satria meluncur, rerata konsumsi paket data per pelanggan per bulan ditaksir mencapai 41—50GB, dengan rerata pertumbuhan per tahun selama periode 2019—2025 sekitar 45%—76%.

Jika Indonesia bertahan dengan hanya menggunakan satu Satelit Satria untuk melayani 26,5 juta pengguna, maka daerah 3T tetap akan tertinggal, karena rata-rata pengguna seluler pada 2023 telah mengonsumsi data sebesar 50 GB atau sekitar 40 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan konsumsi data penghuni di 3T.  

Adapun, jika ditambahkan dengan Satria II yang membawa kapasitas sebesar 300 Gbps dan Satria III dengan kapasitas 500 Gbps, rata-rata per GB yang diterima tiap pengugna setiap bulannya mencapai 7,25GB pada 2030. 

Satelit orbit rendah milik Starlink./dok. Starlink

Dengan demikian, Ridwan mengatakan kehadiran satelit LEO Starlink akan meringankan beban yang dipikul Satria. Starlink dapat meningkatkan suplai data di lokasi Satria atau menjangkau lokasi baru sehingga cakupan internet makin luas. 

“Tidak akan saling gerus karena permintaannya tinggi. Pemerintah merencanakan Satria II dan III. Artinya, permintaannya tinggi sekali,” kata Ridwan. 

Untuk diketahui, satelit LEO Starlink diklaim mampu memberikan kecepatan unduh hingga di atas 200 Mbps dan kecepatan unggah di atas 40 Mbps per titik, serta tingkat latensi sebesar 20 milidetik. 

Hal tersebut dapat tercapai karena satelit Starlink memiliki orbit altitude di ketinggian 1.110 kilometer.  

Layanan yang dihadirkan Starlink jauh lebih andal dibandingkan dengan Satria I yang hanya mampu menyuntikkan internet dengan kecepatan sekitar 1—8 Mbps per titik. 

Melihat kemampuan Starlink, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai satelit Starlink akan menjadi ancaman dan menggantikan Satria.

“Starlink tentu ini merupakan game changer yang dapat mengesampingkan peran Satria. Kalau bisa didapat gratis atau lebih murah, kerja sama penggunaan satelit Satria bisa dihentikan. Namun, memang harus ada hak labuh,” kata Heru. 

Heru mengatakan seharusnya pemerintah berhitung sejak lama mengenai evolusi teknologi satelit, sehingga dapat mengalkulasikan dengan matang ihwal kebutuhan Indonesia terhadap Satelit HTS Satria.

BANYAK PELUANG

Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Network dan Infrastruktur Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC) Ariyanto A. Setyawan mengatakan satelit Starlink yang mengorbit di atas kawasan Asia Tenggara membutuhkan stasiun bumi untuk mendukung layanan. 

Stasiun bumi terdiri dari stasiun pengendali satelit dan stasiun hub berfungsi sebagai gateway penyaluran konten.

Kerja sama antara Starlink dengan perusahaan telekomunikasi di Tanah Air pun diharapkan tidak akan terlepas dari fungsi stasiun bumi tersebut. 

“Dengan stasiun gateway di wilayah Indonesia, konten-konten yang dilayani layanan Starlink dapat disesuaikan dengan norma-norma dan ketentuan di Indonesia,” kata Ariyantio. 

Dia menjelaskan kerja sama yang terjalin tidak hanya berhenti di konten. Kehadiran Starlink juga akan membuka peluang bisnis di sisi penyedia dan distribusi layanan kepada para pelanggan ritel dan korporasi.

Di sisi distribusi, peluang tersebut memuat beberapa skema. Pertama, Starlink menyalurkan langsung kepada pelanggan di mana masyarakat melakukan pemesanan di website Starlink atau Starlink membangun kantor di Indonesia. 

Kedua, Starlink bekerja sama dengan perusahaan layanan internet yang sudah ada, sambil memanfaatkan jaringan kantor-kantor pelayanan perusahaan tersebut sebagai titik pelayanan pelanggan. 

Ketiga, para penyedia layanan internet lokal membeli layanan Starlink secara grosir, kemudian didistribusikan kembali kepada para pelanggan,” kata Ariyanto. 

Berdasarkan informasi yang beredar, biaya berlangganan layanan internet satelit Starlink sekitar Rp1,45 juta per bulan. Untuk menerima layanan, pengguna masih harus membeli peranti penangkap sinyal seharga Rp7,26 juta.

Dengan harga yang cukup mahal, mengingat layanan internet rumah umunya hanya sekitar Rp250.000—Rp600.000, Ariyanto memperkirakan pelanggan Starlink kemungkinan adalah unit usaha secara berkelompok dan bukan perorangan secara langsung.  

“Kemungkinan tidak seperti fiber to the home [FTTH] yang perumahan, atau layanan seluler yang perorangan. Kalau Rp 1,5 juta  per bulan masih selektif” kata Ariyanto. 

Ariyanto menambahkan internet Starlink juga berpeluang dimanfaatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah rural. Para pelaku UMKM membuat warung internet yang kemudian ditawarkan kepada masyarakat dengan harga yang terjangkau.  

Bagaimanapun, Ariyanto tidak menampik bahwa Starlink akan mendisrupsi industri penyedia layanan internet lokal di daerah rural.

Selama ini para penyedia menghadirkan layanan dengan margin keuntungan yang tidak terlalu besar, karena menggunakan radio link. 

Dengan menjual langsung ke masyarakat, maka Starlink dapat memberikan harga yang lebih murah dan lebih cepat masuk ke pasar di daerah rural, tempat para penyedia internet lokal berbisnis.

“Bagaimanapun, Starlink dapat membantu kita meratakan kesempatan memperoleh akses internet yang terjangkau sampai ke pelosok negeri”, tutup Ariyanto.

Elon Musk, pendiri SpaceX dan chief executive officer Tesla Inc., saat tiba di acara penghargaan Axel Springer di Berlin, Jerman, belum lama ini/Bloomberg

Di sisi lain, satelit orbit bumi rendah LEO milik Elon Musk diyakini menjadi momok bagi para pemain satelit Geostationary Earth Orbit (GEO) atau satelit yang beroperasi di ketinggian 36.000 kilometer.  

Satelit LEO berisiko mengganggu frekuensi satelit GEO, yang berdampak pada penurunan kualitas layanan. 

Anggota Dewan Profesi dan Asosiasi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kanaka Hidayat mengatakan kehadiran Starlink bakal memiliki manfaat dan tantangan. 

Starlink berpotensi untuk mendukung akses internet ke daerah terpencil. Namun, dalam hal lain, penggunaan frekuensi Starlink berisiko mengganggu usaha satelit lain di Indonesia. 

Satelit-satelit yang beroperasi di orbit 36.000 ke atas, terancam mengalami gangguan di sisi frekuensi, sehingga kualitas layanan mereka ke bumi menjadi turun. 

“Karena menggunakan frekuensi yang sama atau berdekatan, sehingga bisa saling interferensi,” kata Kanaka. 

Dia berpendapat untuk menghindari terjadinya gangguan dibutuhkan koordinasi dengan sejumlah pemangku kepentingan. Sorotan satelit milik Starlink harus dikonfigurasi ulang untuk menghindari interferensi. 

Sekadar informasi, Satelit Starlink akan menggunakan frekuensi Ka Band dan Ku Band. Sejumlah satelit—termasuk Satria—bakal menggunakan frekuensi tersebut untuk beroperasi.

Bisnis mencoba menghubungi Ketua Umum Asosiasi Satelit Indonesia (Assi) Hendra Gunawan dan Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) mengenai risiko gangguan tersebut. Namun, hingga berita ini ditayangkan keduanya belum menjawab.

PENJAJAKAN

Seperti diberitakan sebelumnya, PT Telkom Indonesia Tbk. (TLKM) mengonfirmasi kabar negosiasi dengan SpaceX untuk menghadirkan konektivitas digital di seluruh Indonesia, khususnya daerah pelosok. 

Perusahaan telekomunikasi pelat merah tersebut ingin menghadirkan layanan satelit dengan teknologi terkini bagi masyarakat Indonesia. 

VP Corporate Communication Telkom Pujo Pramono mengatakan perseroan berkomitmen mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan konektivitas digital di seluruh wilayah Indonesia. 

Mengingat geografis wilayah Indonesia luas, kata Pujo, peran teknologi satelit sangat dibutuhkan dalam mengakselerasi pemerataan konektivitas digital hingga ke pelosok nusantara. 

Telkom terbuka untuk bermitra dengan pihak manapun yang memiliki kompetensi dalam pemanfaatan teknologi satelit, termasuk satelit LEO Starlink, yang merupakan anak usaha SpaceX korporasi milik Elon Musk. 

“Hal inilah yang mendasari pembicaraan kerja sama Telkom dengan SpaceX,”  kata Pujo kepada Bisnis, Rabu (21/7/2021). 

Pujo mengatakan, sebagai perusahaan satelit, SpaceX memiliki kompetensi mumpuni dalam pengembangan teknologi satelit.

Dia berharap dengan terjalinnya kerja sama nanti, Telkom mampu memberikan solusi guna mengakselerasi konektivitas hingga pelosok Nusantara. 

Bagaimanapun, Pujo belum dapat menceritakan skema, linimasa, hingga nilai investasi dari kerja sama tersebut karena masih dalam tahap penjajakan. 

“Harapannya dengan terjalinnya kerja sama, Telkom mampu memberikan solusi guna mengakselerasi konektivitas hingga pelosok nusantara dengan penyediaan layanan satelit yang andal, berkualitas dan terjangkau,” tuturnya.

Sisi lain, Kementerian Komunikasi dan Informatika terus mengkaji untung rugi kehadiran Starlink di Indonesia. 

Juru Bicara Kemenkominfo Dedy Permadi mengatakan kajian dilakukan bersama para pemangku kepentingan, seperti penyelenggara telekomunikasi nasional dan asosiasi

“Kajian untuk mempertimbangkan beberapa aspek seperti kesesuaian dengan regulasi, kebermanfaatan untuk industri dan masyarakat,  serta aspek keamanan dan pertahanan nasional.”

Dedy menambahkan Kemenkominfo  juga secara aktif berkoordinasi dengan perwakilan Starlink untuk mendapatkan informasi dan penjelasan yang lebih detail mengenai produk mereka. 

Berdasarkan dokumen yang diterima Bisnis, diketahui Starlink siap beroperasi di kawasan Asia pada akhir 2021 atau awal 2022. 

Khusus untuk di Indonesia, berdasarkan situs jejaring resmi Starlink, sebanyak 13.901 orang Indonesia menyatakan tertarik dengan layanan Starlink.

Sebanyak 415 dari jumlah tersebut bahkan telah melakukan deposit senilai US$100 untuk bisa menggunakan layanan satelit yang beroperasi di orbit rendah itu. 

Starlink sendiri tidak akan memberikan layanan hingga memenuhi segala persyaratan dan peraturan yang berlaku.

Dari dokumen itu juga diketahui bahwa rencananya SpaceX akan membangun 25 gateway stasiun bumi di Indonesia dalam 1,5 tahun ke depan.

Sebanyak 6 stasiun bumi akan dibangun di Papua pada 2021 bekerja sama dengan Telkomsat, anak usaha TLKM.

Pada pengembangan tahap awal itu juga, rencananya Starlink akan meluncurkan layanan ke konsumer.  Layanan ke konsumer akan makin luas ketika gateway telah aktif pada 2022. 

Reporter : Leo Dwi Jatmiko

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.